Beban Mental dan Ancaman Kekerasan pada Perempuan di Masa WFH
PSBB dan WFH membuat beban perempuan bertambah dan menimbulkan masalah kesehatan mental. Selain itu, kekerasan pada perempuan juga meningkat di masa pandemi.
Proporsi gangguan mental menurut jenis kelamin |
Kondisi depresi dan kecemasan menurut jenis kelamin |
"Perempuan memiliki faktor hormonal yang berbeda dengan laki-laki sehingga perubahan-perubahan hormon menyebabkan perempuan lebih mudah terkena gangguan kejiwaan", jelas dr. Lahargo Kembaren, Dokter Psikiater di Siloam Hospitals Bogor.
Kepemilikan Usaha di Daerah Perkotaan |
Selain harus memikirkan tanggung jawabnya sebagai pekerja di ranah publik, perempuan-perempuan yang khususnya sudah berkeluarga, juga memiliki tanggung jawab domestik dan kewajiban mendampingi anak belajar di rumah. Bertambahnya beban tersebut digambarkan dalam Laporan Kaji Cepat Komnas Perempuan 2020, yang mana memang banyak perempuan yang melakukan pekerjaan rumah tangga lebih lama dan lebih banyak dibandingkan laki-laki.
"Perempuan (bekerja) 2 kali lipat lebih lama untuk urusan-urusan domestik dibanding dengan laki-laki. Durasinya lebih dari 3 jam," Maria Ulfah Anshor, Komisioner Komnas Perempuan, mengonfirmasi temuan tersebut melalui wawancara daring Selasa (22/12/2020).
Dalam laporan itu juga disebutkan, 1 dari 3 responden (yang mayoritas perempuan) mengaku bahwa beban rumah tangga yang bertambah membuat mereka mengalami stres. Stres atau tekanan inilah yang nantinya dapat bermuara pada tindak kekerasan dalam rumah tangga, yang cenderung meningkat di masa pandemi terutama pada perempuan yang tergolong berpenghasilan di bawah lima juta rupiah per bulannya. Dari laporan tersebut dapat ditarik asumsi bahwa faktor kesulitan ekonomi memang menjadi pemicu stres dalam keluarga yang bisa berujung kepada kekerasan terhadap perempuan dan anak (sebagai pelampiasan). Lagi-lagi, Maria menambahkan apabila stres yang mencuat tadi tidak dikelola dengan baik, alhasil yang keluar dari mulut maupun tindakan bukanlah sesuatu yang baik.
Baca juga: Gangguan Kesehatan Mental dan Kekerasan Intai Anak Selama PJJ
“Kemampuan mengelola stres di masa COVID-19 ini berbeda-beda pada setiap orang. Tidak semuanya bisa berlapang dada.”
Ilustrasi perempuan yang terbebani secara mental dan mendapat kekerasan di rumah. Sumber: M dari Unsplash |
Terlebih, kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) juga membuat perempuan tidak punya pilihan lain selain menetap di rumah, padahal rumah bisa jadi tidak menjadi tempat yang aman untuk mereka. Pembatasan sosial telah membuat penurunan penghasilan dan berkurangnya aktivitas sosial selain dengan keluarga. Hal inilah yang kemudian menimbulkan ketegangan, konflik dan rasa frustrasi di dalam rumah sehingga berpotensi meningkatkan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Laporan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah yang tertinggi sepanjang 2021. Sumber: SIMFONI PPPA |
Inilah yang harus diperhatikan terutama oleh perempuan—karena menjadi mayoritas korban—bahwa KDRT bukan hal yang bisa disepelekan. Kekerasan dalam rumah tangga tidak hanya kekerasan yang bersifat fisik seperti memukul, menampar, mencubit dan sebagainya; tapi juga kekerasan yang bersifat seksual seperti marital rape atau kegiatan seksual tidak konsensual, juga kekerasan yang bersifat verbal seperti memaki atau menghina.
Kekerasan seksual dan fisik mendominasi pengaduan korban kekerasan yang dialami oleh perempuan. Sumber: SIMFONI PPPA |
Banyaknya perempuan yang menjadi korban kekerasan—khususnya dalam rumah tangga—menimbulkan tanya mengenai mengapa hal tersebut terus-terusan terjadi, terlebih meningkat di masa pandemi. Hal ini disoroti pula oleh Juru Bicara Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Ratna Susianawati. Menurutnya, peran perempuan dalam ranah domestik memang sedikit lebih besar dari pada laki-laki. Namun, bukan berarti semua beban tersebut lantas dilimpahkan pada perempuan. Anggota keluarga lain pun seharusnya turut membantu.
“Kalau melihat banyaknya korban (yang perempuan), maka ada relasi kuasa terjadi dari laki-laki pada perempuan.”
Relasi kuasa terjadi kala ada ketimpangan dalam melakukan peran-peran gender pada suatu hubungan—yang dalam kasus ini adalah suami-istri di sebuah keluarga. Dalam keterangan Ratna, seharusnya ada pembagian peran dalam melakukan tugas rumah tangga, sebab apa yang disebut keluarga tidak bisa dibangun dan diurus oleh satu orang saja.
Ilustrasi relasi kuasa. Sumber: Femina |
“Laki-laki dan perempuan dilahirkan untuk bersama-sama. Bekerja bersama-sama. Saling menghargai, saling menghormati,” lagi, Ratna memberi penjelasan filosofis bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan setara dalam menjalankan perannya kelak.
Maka dari itu, penting bagi berbagai pihak untuk mengedukasi masyarakat mengenai pembagian peran-peran gender yang disesuaikan dengan kondisi keluarga masing-masing. Hal ini yang diharapkan dapat menghindarkan ketimpangan beban rumah tangga pada perempuan yang bisa berakibat gangguan kesehatan mental. Selain itu, banyak korban yang enggan melapor—walau ingin—karena tidak bisa keluar dari rumah, terlebih lembaga layanan pun membatasi akses karena khawatir dengan pandemi COVID-19. Oleh karenanya, lembaga layanan harus lebih gencar mengidentifikasi para korban kekerasan dalam rumah tangga serta memperkuat kelembagaan di masyarakat agar angka aduan kekerasan bukan hanya fenomena gunung es belaka.
Baca juga: Darurat Kesehatan Mental Indonesia Selama Pandemi
Komentar
Posting Komentar