Darurat Kesehatan Mental Indonesia Selama Pandemi

Pandemi ternyata berdampak serius pada kesehatan mental, terlebih pada anak muda sampai timbul pikiran ingin bunuh diri.

Pandemi COVID-19 di Indonesia tidak hanya mengakibatkan jatuhnya banyak korban jiwa, namun juga berbagai efek subtil, salah satunya pada kesehatan mental. Fatimah, mahasiswi Universitas Indonesia semester tujuh mengungkapkan bahwa Work From Home (WFH) akibat pandemi ini telah berpengaruh ke kesehatan mental, bahkan sampai menurunkan produktivitasnya.

"Ketika di rumah aja gue stres, moody, gak nyaman. Jadi kerjaannya nonton [film] mulu, tugas kuliah jadi deadliner [mengerjakan tugas ketika menjelang tenggat waktu]," aku Ima.

Deshinta Vibriyanti, peneliti sosial Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), menyebutkan bahwa hal ini bisa terjadi karena tingginya tingkat stres yang dialami individu. "Stres itu seperti huruf U terbalik," jelas Deshinta dengan menggambarkan kurva Yerkes-dodson.

Kurva Yerkes-dodson tentang korelasi stres dan performa

Dalam kurva ini, dijelaskan bahwa, ketika individu belum mengalami stres, dirinya tidak akan melakukan sebuah performa. Sebagai contoh, ketika individu tidak mengetahui bahaya COVID-19, maka dirinya tidak akan melakukan tindakan apapun untuk menghindarinya. 

Namun dengan porsi medium, stres justru bisa mendorong performa menjadi maksimal, seperti orang yang sudah mengetahui bahaya COVID-19, dirinya akan terdorong untuk selalu mencuci tangan, menjaga jarak, dan mematuhi protokol kesehatan lain.

"Namun, ketika kecemasan mulai bertambah dan mulai mengganggu, performa individu jadi turun," lanjut Deshinta. "Jadi stres harus stabil di tengah, dan gimana caranya kita harus bisa mengelolanya dengan baik."

Dari Cemas, Stres, sampai Depresi

Ima adalah satu contoh kecil dari dampak kesehatan mental dari COVID-19. Sebab, survei Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) menunjukkan bahwa selama lima bulan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diberlakukan, hal tersebut telah menyebabkan sebagian besar masyarakat mengidap berbagai gangguan mental mulai dari rasa cemas sampai depresi.

Kondisi mental masyarakat Indonesia selama lima bulan pandemi 

Hal ini terjadi karena perubahan psikososial dimana masyarakat diharuskan tetap di rumah, tidak berinteraksi dengan orang lain, sementara pekerjaan tetap menumpuk meskipun harus bekerja dari rumah. Hal ini terjadi terutama kepada perempuan. Jurnal penelitian Heliyon bahkan mengungkapkan bahwa perempuan lebih memiliki tingkat kecemasan sedang dan berat yang lebih tinggi dibanding laki-laki.

Tingkat Kecemasan Berdasarkan Jenis Kelamin

Lebih tingginya tingkat kecemasan ini mungkin terkait meningkatnya beban perempuan selama pandemi. Aturan "di rumah saja" membuat perempuan semakin banyak terbebani urusan-urusan domestik. "Yang awalnya anak-anak sekolah diurus oleh guru, sekarang ibu yang harus mengurus, menemani anaknya sekolah online. Ibu juga banyak merawat keluarganya seperti lebih sering memasak dan lain sebagainya karena anggota keluarga lebih banyak di rumah akibat pandemi," jelas Ratna Susianawati, Staf Ahli Bidang Komunikasi pembangunan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

Baca juga: Beban Mental dan Ancaman Kekerasan pada Perempuan di Masa WFH

Selain itu, kesulitan finansial dan banyaknya pekerja yang dirumahkan juga semakin membebani kesehatan mental individu. Pengamatan Surveymeter pun menyebutkan bahwa masyarakat berpendapatan menurun lebih banyak mengalami stres dibanding masyarakat berpenghasilan tetap dan meningkat.

Tingkat Stres Berdasarkan Kondisi Penghasilan Selama Pandemi


Anak Muda Lebih Rentan Bunuh Diri Selama Pandemi

Ketika gejala stres terus mengalami peningkatan, hal ini bisa menyebabkan depresi berat yang bisa mendorong individu melukai diri sendiri atau bahkan bunuh diri. Bahkan, survei PDSKJI menunjukkan bahwa satu diantara lima orang memiliki pemikiran bunuh diri dan hal ini lebih banyak terjadi pada kalangan berusia 18-29 tahun.

Gambaran Pemikiran Bunuh Diri Selama Pandemi

dr. Lahargo Kembaren, Dokter Psikiater di Siloam Hospitals Bogor, menjelaskan mengapa anak muda lebih memiliki pemikiran bunuh diri. "Pertama, perubahan orang-orang muda terbilang drastis.  Bonding mereka cukup kuat dengan teman-teman kampus, sekolah, dan tempat kerja, tapi sekarang harus terjadi perubahan selama pandemi."

Kedua, model pola asuh orang tua tidak cukup optimal sehingga kapasitas mental tidak kurang baik untuk menghadapi stressor-stressor selama pandemi. Ketiga adalah faktor sosial media.

"Karena adanya media sosial, anak muda cenderung melakukan comparing kehidupan mereka dan orang lain sehingga menyebabkan perasaan insecure. Insecure inilah yang bisa berdampak kepada munculnya depresi dan gejala depresi ini adalah pikiran-pikiran mengakhiri hidup," tambah dr. Lahargo.

Hoaks Rusak Kesehatan Mental

Tidak hanya pandemi itu sendiri, banjirnya berita-berita hoaks pun dapat memperparah kesehatan mental seseorang. Secara neurologis, hal ini bisa terjadi karena, ketika berita-berita hoaks dikonsumsi pada kadar yang terlalu sering, rangsangan itu akan diproses otak bagian depan (prefrontal cortex). Prefrontal cortex lantas mengirimkan sebuah sinyal ke otak tengah (amigdala). Amigdala—yang bertugas sebagai pusat pengaturan emosi—akan mengalami ketidaknyamanan sehingga bisa mengaktifkan suatu sirkuit yang disebut hypothalamic–pituitary–adrenal (HPA) axis. 

"Hasil akhir ini adalah hormon stress atau kortisol," lanjut dr. Lahargo. "Kortisol kalau didistribusikan ke organ tubuh akan menyebabkan sensasi tidak menyenangkan seperti jantung berdetak kencang, nafas menjadi sesak, dan asam lambung meningkat."

Meskipun berita hoaks terbukti sangat merugikan. Namun, penelitian  Juditha (2020) menunjukkan bahwa, terkait berita COVID-19, kemampuan literasi masyarakat Indonesia masih tampak mengambang: 44 persen tidak tahu cara membedakan berita hoaks dengan berita benar, sementara 55 persen mengatakan kadang bisa dan kadang tidak bisa membedakan mana berita hoaks mana berita benar.

Kemampuan responden membedakan antara hoaks dan berita yang benar tentang Covid-19

Kebijakan Layanan Kesehatan Mental Indonesia masih Terfragmentasi

Masalah layanan kesehatan mental di Indonesia adalah kebijakan yang ada di level puskesmas atau pelayanan kesehatan primer tidak merata di setiap daerah.

"Di beberapa kabupaten atau kota mungkin ada yang concern terhadap kesehatan jiwa, tapi kalau tidak, ya, tidak ada pelayanan kesehatan jiwa atau kalaupun ada cuman sekedar pelengkap," jelas ‪Ilham Akhsanu Ridlo, peneliti kebijakan pelayanan kesehatan mental Universitas Airlangga.

Padahal diagnosis pertama dari pelayanan kesehatan primer yang mana salah satunya adalah puskesmas, sangat penting. Sebab, permasalahan layanan kesehatan mental di Indonesia adalah deteksi. Sampai sekarang data-data yang terhimpun terkait kesehatan mental di pelayanan kesehatan Indonesia masih sangat minim dan hanya menunjukkan kondisi parah saja, seperti bunuh diri dan perilaku agresivitas (melakukan kekerasan). Padahal, data tersebut hanyalah fenomena gunung es di tengah masyarakat, sementara deteksi gangguan mental yang kurang parah oleh puskesmas belum optimal.

Karena yang terdeteksi hanyalah pasien gangguan mental parah, tidak ada ukuran berapa besarnya pasien gangguan mental ringan dan sedang. Alhasil, pengobatan untuk pasien bergejala ringan kurang diprioritaskan, padahal ini penting untuk mencegah pasien mengidap gangguan mental lebih parah lagi.

Ilham lebih lanjut menjelaskan bahwa pengobatan kesehatan mental ini kompleks. Sebab, tidak seperti kesehatan fisik dimana pasien sembuh dari rumah sakit bisa pulang dan masalah selesai. Ketika pasien gangguan mental telah dinyatakan stabil di rumah sakit, dirinya akan diperbolehkan pulang, namun di rumah dirinya masih mendapat stigma dari masyarakat sekitar sehingga menyebabkan gangguan mentalnya bisa semakin parah. Apabila sudah semakin parah, pasien itupun harus kembali ke rumah sakit jiwa (RSJ). Alhasil, siklus ini pun terus terjadi.

Siklus pasien gangguan jiwa

Survei Jakpat pun juga menunjukkan bahwa stigma masyarakat Indonesia terhadap orang dengan gangguan kesehatan mental masih banyak yang bernada negatif, seperti orang gila dan aneh, bahkan orang yang berpotensi melakukan tindakan berbahaya dan dapat mencelakai orang lain.

Survei Pandangan Masyarakat Indonesia terhadap Kesehatan Mental

Secara makro, urgensi layanan kesehatan mental ini terkait dengan anggaran negara. Mengapa? Berbeda dengan kesehatan fisik dimana pasien dengan gejala parah akan meninggal dan urusan selesai, pasien gangguan mental parah akan tetap hidup dan menjadi beban negara.

"Kalau negara tidak memiliki concern terhadap kesehatan mental, apalagi di masa pandemi ini, maka di beberapa tahun ke depan," lanjut Ilham. "Kita akan memiliki beban bagi produktivitas negara."




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Beban Mental dan Ancaman Kekerasan pada Perempuan di Masa WFH

Gangguan Kesehatan Mental dan Kekerasan Intai Anak Selama PJJ